Mungkin masyarakat awam tidak banyak yang mengenal siapa Hari Prajitno, Dosen pengajar seni rupa di  Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya karena kiprahnya di dunia seni rupa tidak banyak terpublikasi secara masif di media massa. Kiprah di dunia seni rupa Hari Prajitno, awalnya lebih dikenal dari tulisan dan ulasannya yang beredar baik melalui media, selebaran dan buku. Dia juga banyak bercengkrama dengan sesama penikmat dan pelaku seni rupa lewat diskusi dan pameran di Surabaya.

Sekitar tahun 2000-2002, Hari Prajitno cukup produktif menulis kritik seni melalui apa yang diingat orang sebagai tulisan kritis dengan istilah “Nasi Bungkus”, karena merujuk pada lembaran kertas seukuran bungkus nasi sebagai media untuk menulis kritik-kritiknya. Kritik Hari Prajitno saat itu beberapa kali membuat merah telinga perupa-perupa senior di Surabaya. Mulai dari pameran, karya seni dan kegiatan seni rupa tak luput dari kritiknya. Kumpulan kritik “Nasi Bungkus” dan beberapa tulisan Hari Prajitno lainnya, pada akhirnya diterbitkan secara terbatas oleh Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) dalam bentuk buku yang berjudul “Komodifikasi, Pemikiran dalam Seni Rupa” pada Tahun 2016. Buku ini kemudian dibagikan secara internal kepada Dewan Kesenian Kabupaten/Kota di seluruh Jawa Timur, seniman serta akademisi seni rupa.

RuangRana,com dalam beberapa kali kesempatan dialog bersama Hari Prajitno mencoba menggali lebih dalam pemikiran-pemikiran yang sangat menarik untuk disimak. Meski lulusan Seni Rupa FSR-ISI Yogyakarta ini adalah seorang akademisi yang mengajar sketsa, sejarah seni rupa barat dan dasar-dasar menggambar, yang tentunya sangat memahami teori serta kaidah-kaidah akademis dalam membuat karya seni, namun pada kenyataannya sekarang dia sudah melepaskan diri dari kaedah-kaedah akademis dalam melukis. “Pokoknya saya melukis saja dan sekarang saya sudah melepaskan diri dari kaidah akademis, meski saya sendiri adalah akademisi. Saya sudah tidak peduli dengan semua itu,” tuturnya. Dia memang sengaja untuk tidak menuangkan pesan khusus dalam setiap karyanya.

Belasan aktivitas pameran tunggal maupun bersama di berbagai kota serta beragam tulisan pemikiran yang dihasilkan mulai tahun 90-an hingga sekarang menjadi bukti konsistensi kepedulian seorang Hari Prajitno di dunia seni rupa. Buah pemikirannya saat ini dapat dengan mudah dicari melalui media sosial dan blog pribadinya. Menurutnya ekspresi seni yang dilakukan manusia mengisyaratkan makna sebagai motivasi utama dalam hidup ini dan bukan suatu “rasionalisasi sekunder” dari dorongan-dorongan instingtif, dengan keunikan personal yang hanya bisa dipenuhi oleh dirinya sendiri untuk mencapai kepuasan akan spiritualitas, dengan demikian dalam kegiatan pencarian makna hidup manusia mencari misteri transenden sebagai pengungkapan yang paling tinggi yang dapat dicapai dari apa yang secara logis tak mampu. Maka kalau seni hanya bermuatan materi cat, gambar-bambar, kedekoratifan menghias, apa yang sedang menjadi trend tanpa ada keunikan personal, menurut Hari Prajitno itu hanyalah menghias kanvas, bukan ekspresi sebagai karya seni lukis.

Kekayaan pemikiran Hari Prajitno saat ini coba dibagikan melalui Lembaga Pengembangan Seni Rupa Surabaya “AKSERA” yang berlokasi di Jl. Dukuh Kupang XXVII no 20 Surabaya. Sebagai ketua Aksera, dia mencoba mengajak anak-anak muda yang menggeluti dunia seni rupa untuk berkarya secara bebas. Dia mempercayai ekspresi individu sebagai acuan dasar, sehingga arti “kebebasan” sangat terkait dengan kebiasaan, kecenderungan atau keunikan tertentu akan membawa sesuatu yang lebih jernih. Sehingga arti “saya” tidaklah berjalan secara serampangan, tetapi semua itu berjalan dengan bekal purba yang dibawa sebelum terjadinya kelahiran. Hukum-hukum yang telah diterapkan pada setiap personal akan membawa pada pengertian lebih manusiawi yang terbimbing olehNYA. Kreasi, rekreasi, atau apapun tidak juga menyebabkan super atau sakit semua berjalan menjumputi jejak-jejak lama yang mungkin terlihat ataupun teringat tiada kepastian gambaran baik warna ataupun bentuk hanya tinggal melanjutkan. Seni tidak sekedar instingtif tetapi lebih dari itu pencarian makna untuk menyesuaikan diri dengan pemahaman kosmik terhadap keutuhan yang lebih dalam pada kebenaran dan keindahan yaitu bagian dari proses memahami keutuhan kosmik.

Kritik Hari Prajitno pada dunia seni rupa saat ini adalah kecenderungan seniman untuk membuat karya seni yang laku atau diterima oleh publik bukan murni berkarya secara bebas. Pada titik itu akan memunculkan pertanyaan, diterima oleh publik yang mana? Seniman seharusnya konsisten menunjukkan ke”diri”annya yang selalu membawa identitas personal namun tetap bertumbuh, dinamis dan berkembang seiring waktu. Seniman selain memiliki ruang personal juga dituntut untuk punya ruang non personal sebagai sarana untuk memberikan manfaat bagi publik. Peran seorang Hari Prajitno dan eksistensi pribadinya bagi publik terbilang sangat sederhana, selama dia bisa membuat lingkungan kecil tempatnya berinteraksi bisa “beres” itu sudah lebih dari cukup baginya. Permintaan Nuzurlis Koto, seniman seni rupa senior yang juga merupakan mahasiswa AKSERA angkatan 1967 kepada Hari Prajitno untuk menghidupkan AKSERA, membuat Hari Prajitno memiliki ruang dan gairah untuk menghidupkan AKSERA dengan gayanya sendiri. Kesadaran seorang Hari Prajitno bahwa dia adalah orang “kaya” dalam artian berpengetahuan mendorongnya untuk berbagi. Dan jika hal tersebut dibagikan pada orang-orang secara berbayar maka kekayaannya tidak akan terbeli oleh orang lain. Memberikan kekayaan pengetahuan yang dimilikinya kepada oirang lain lewat kelas-kelas gratis di AKSERA merupakan wujud ruang non personal bagi seorang Hari Prajitno. Di AKSERA Hari Prajitno lebih mendorong para seniman muda untuk eksperimentatif dalam berkarya. Dia justru menolak seniman datang ke AKSERA dengan membawa karya yang estetis yang justru kurang memberikan greget. Dia akan menyarankan mereka ke tempat lain yang lebih bisa memberikan eksposur bagi sang seniman bersama karyanya. Ada ide dan angan-angan besar yang ingin menjadi nyata yaitu membuat acara pameran ekperimentatif semacam ArtJog yang meski kemungkinannya kecil untuk dapat terlaksana namun sangat pantas untuk diusahakan. (Eed)

2 thoughts on “Buah Pikiran Hari Prajitno”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *