Ponorogo | RuangRana.com – Puncak rangkaian Grebeg Suro 2024 di Kabupaten Ponorogo ditutup dengan tradisi larungan di Telaga Ngebel. Larungan di Ponorogo sudah menjadi tradisi saat memasuki awal tahun baru Jawa di tanggal 1 Suro. Upacara larung sesaji ini rutin digelar tiap tahun oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo dengan tujuan menjaga adat budaya masyarakat setempat, sekaligus sebagai daya tarik bagi wisatawan. Larung sesaji yang selalu diselenggarakan di Telaga Ngebel, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo berlangsung dengan meriah pada Minggu (7/7/2024) dengan menyediakan 9 buceng atau tumpeng besar.
Satu di antaranya adalah Tumpeng Agung atau buceng terbesar setinggi 2 meter yang nantinya akan dilarung menuju ke tengah telaga. Selain Tumpeng Agung yang terdiri dari nasi beras merah dilengkapi uborampe berupa ingkung dan sayur-mayur, 8 buceng lainnya yang mewakili 8 desa di wilayah Kecamatan Ngebel berisi hasil bumi yang nantinya akan diperebutkan oleh masyarakat sekitar. Sebelum dilarung, ada prosesi upacara dan doa agar buceng menjadi lebih berkah. Sembilan buceng yang tersedia diarak mengelilingi Telaga Ngebel dan kemudian selesai diarak, Tumpeng Agung yang merupakan buceng terbesar dilarung menuju ke tengah Telaga Ngebel menggunakan rakit, sedangkan 8 buceng lainnya diperebutkan warga sekitar sebagai simbol rasa syukur atas berkah.

Perayaan larungan kali ini diguyur hujan deras di akhir acara, tanpa sedikitpun menyurutkan antusias ribuan masyarakat untuk berebut hasil bumi yang terdapat pada buceng-buceng tersebut. Menurut Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko, larungan adalah bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan karunia yang diberikan kepada manusia. Doa saat larungan dikemas dalam bentuk tradisi dan budaya. Seperti pertunjukan tari-tarian dan sholawat yang dilantunkan dalam mengiringi larungan agar lebih sakral. Simbol-simbol doa pun juga diimplementasikan dalam bentuk buceng. “Kekayaan melimpah ruah ada budaya yang elok mempesona, penduduk ramah, etos kerja bagus, bertani dengan ta’dzim, alamnya indah mempesona,” jelas Bupati.

Lebih lanjut, Sugiri Sancoko berharap larungan tiap 1 Suro atau 1 Muharam tahun baru Hijriah itu tidak dipandang dari sisi mistis atau klenik belaka. Dengan adanya larungan, penting dalam hal nguri-uri atau menjaga tradisi budaya lokal. Sebagai warisan budaya yang diturunkan kepada generasi penerus. Selain manusia yang memperoleh berkah, hewan-hewan dan makhluk hidup lain yang ada di Telaga Ngebel juga merasakan hal yang serupa.
“Di telaga Ngebel itu banyak ikannya, dan mereka juga butuh makan, ikan dipancing dan dikonsumsi juga oleh manusia,’’ ujarnya.