Surabaya | RuangRana.com – Penyelenggaraan pergelaran Wayang Kulit lakon “Cupu Manik Astagina” bersama Dalang Ki Budi Prayitno dari Kabupaten Gresik malam tadi (15/10/2003) di UPT Taman Budaya Jawa Timur berlangsung cukup meriah meski diselenggarakan di hari Minggu dan berakhir hingga Senin dini hari. Pergelaran wayang kulit diawali dengan pembacaan sambutan oleh Kepala UPT Taman Budaya Jawa Timur, Ali Ma’ruf, S.Sos., M.M. mewakili Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur, Dr. Hudiyono, M.Si.. Dalam sambutan tertulis yang dibacakan Ali Ma’ruf, Hudiyono menyatakan bahwa UPT Taman Budaya Jawa Timur ini merupakan wadah bagi para seniman untuk berkreasi dalam menampilkan kesenian khususnya di wilayah Jawa Timur. Wayang kulit Jawa Timuran masih bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kita ini sangat mendambakan akan kesenian tradisional. Hudiono berharap kesenian Jawa Timur ini bisa lestari dan berkembang, sampai pada anak turun generasi muda pejuang bangsa, sehingga kita sebagai bangsa yang besar bisa menjaga dan tidak kehilangan jati diri bangsa.

Pertunjukkan wayang kulit kemudian dibuka oleh Hadi Dediyansah, S.Pd., M.Hum, anggota DPRD Jatim Fraksi Gerindra dengan memberikan gunungan kepada Dalang Ki Budi Prayitno, didampingi Kepala UPT Taman Budaya Jawa Timur. Sebelum penyerahan gunungan, dalam sambutannya Hadi menekankan perlunya perhatian dari kepala daerah baik Walikota Surabaya maupun Gubernur Jawa Timur, untuk lebih sering menyelenggarakan acara-acara seni budaya di Taman Budaya Jawa Timur, karena meski Taman Budaya Jawa Timur berada dalam pengelolaan Provinsi Jawa Timur namun lokasinya berada di Kota Surabaya. Hadi menambahkan agar acara wayang kulit atau acara seni budaya lainnya dapat diselenggarakan pada waktu yang tepat, bukan di waktu malam Senin (Minggu malam) karena keesokan harinya adalah hari kerja, namun akan lebih tepat diselenggarakan saat malam Sabtu atau malam Minggu, karena keesokan harinya merupakan hari libur sehingga animo masyarakat pecinta acara budaya semakin besar.
Sebelum Wayang Kulit lakon “Cupu Manik Astagina” digelar, pertunjukkan malam tadi diawali dengan sajian campursari. Memasuki acara pokok, kepiawaian Dalang Ki Budi Prayitno seakan menghipnotis masyarakat yang menonton acara secara langsung di Pendopo Jayengrana UPT Taman Budaya Jawa Timur. Dari pantauan RuangRana.com Timur, acara yang juga dilaksanakan secara live streaming lewat saluran youtube Cak Durasim ternyata cukup mendapatkan perhatian dari pemirsa dari berbagai tempat. Sampai tengah malam masyarakat tampak antusias untuk menikmati pergelaran.

Selain Hadi Dediyansah, S.Pd., M.Hum selaku anggota DPRD Jatim Fraksi Gerindra, tampak hadir dalam pergelaran malam tadi diantaranya, Dr. Jarianto, M.Si. Ketua Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW), Sinarto, S.Kar., MM Ketua Pepadi Jarim, Ris Handono pengurus Komunitas Wanita Berkebaya Surabaya, Madiro Ketua Pepadi Surabaya, Hendi Yuda Ketua Komunitas Tunggak Jati Nusantara, Komunitas Budaya di Surabaya, Mahasiswa Mahasiswi Kampus di Surabaya Raya, Guru dan Pelajar SMK/SMA di Surabaya Raya serta awak media peliput acara.
Lakon “Cupu Manik Astagina” Dalang Ki Budi Prayitno mengisahkan tentang Dewi Indradi yang sedang asyik memainkan Cupu Manik Astagina di Pertapaan Grastina. Dengan Cupu Manik Astagina tersebut ia bisa menikmati keadaan alam. Namun, tiba-tiba puteri sulungnya yang bernama Dewi Anjani datang memergokinya. Dewi Anjani memohon kepada ibunya untuk meminjam alat permainan itu. Dewi Indradi mau meminjamkannya namun dengan syarat jangan sampai adik-adiknya, yaitu Guwarsa dan Guwarsi tahu. Namun, Dewi Anjani justru memamerkan kepada kedua adiknya. Akibatnya Cupu Manik Astagina tersebut menjadi rebutan bagi ketiga anak Resi Gotama tersebut.
Resi Gotama yang sedang bersemedi terganggu oleh keributan ketiga anaknya tersebut. Begitu mengetahui bahwa sumber dari keributan adalah Cupu Manik Astagina, yang ia ketahui bahwa itu adalah milik Batara Surya. Resi Gotama kemudian bertanya kepada isterinya Dewi Indradi dari mana asal dari Cupu Manik Astagina. Karena ketakutan Dewi Indradi hanya diam saja tidak berani menjawab. Hal itu membuat Resi Gotama amat marah dan mengutuk Dewi Indradi menjadi tugu lalu membuangnya sejauh-jauhnya dan akhirnya jatuh di dekat perbatasan kerajaan Alengka.
Begitu juga dengan Cupu Manik Astagina, dibuangnya jauh-jauh oleh Resi Gotama benda itu. Namun walaupun ketiga anaknya sudah kehilangan ibu karena benda tersebut mereka tetap mengejar benda itu hingga sampai di sebuah telaga. Mereka diikuti oleh pamong mereka, Endang Suwareh, Jembawan dan Menda. Guwarsa dan Guwarsi tiba lebih cepat dibanding kakaknya, mereka langsung terjun ke telaga tersebut untuk mencari cupu tersebut. Begitu pula jembawan dan Menda, mereka mengikuti anak Begawan Gotama tersebut terjun ke telaga.

Dewi Anjani dan Endang Suwareh yang tiba kemudian, tidak ikut masuk ke dalam telaga, mereka hanya membasuh muka mereka untuk mengurangi rasa lelah. Namun begitu terkejutnya mereka, Guwarsa, Guwarsi, Jembawan dan Menda wajah dan tubuhnya berubah seperti seekor kera, begitu juga dengan Dewi Anjani, wajah dan tangannya berubah menjadi wajah kera. Betapa sedih hati mereka ketika mengetahui bahwa ketampanan dan kecantikan mereka telah hilang dan kini berwujud kera.
Dengan penuh penyesalan, mereka kembali ke pertapaan ayahnya, mereka memohon kepada Resi Gotama agar wujud mereka dikembalikan seperti semula. Namun Resi Gotama mengatakan bahwa perubahan wujud mereka sudah menjadi kehendak dewata. Mereka kemudian diperintahkan bertapa untuk mensucikan diri.